Sebagai generasi berencana, pastinya harus sudah siap dengan berbagai tantangan seluk beluk pernikahan dan masalah rumah tangga yang akan dihadapi. Agar lebih kuat pondasinya, yuk simak penjelasan berikut mengenai bagaimana orang berpikir untuk memecahkan masalah. Tenang, nggak berat teorinya, masih berat rindunya Dilan kok.
***
Cogito ergo sum – Aku berpikir maka aku ada. Sebuah ungkapan filsafat yang sudah tidak asing di telinga kita. Kalimat yang di populerkan oleh Descartes tersebut selalu dimuat dalam setiap buku pengatar filsafat yang membahas mazhab rasionalisme. Tenang, penulis tidak akan terlalu mengurai konsep Descartes di tulisan ini. Hal yang akan penulis garis bawahi adalah mengenai “berpikir” dalam konteks psikologi komunikasi. Mari luangkan waktu sejenak menyimak serunya berpikir mengenai bagaimana orang berpikir J
Apakah berpikir itu? Singkat cerita, Anita Taylor et al, mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process (Taylor et al. 1977:55). Berpikir melibatkan penggunaan lambang, visual atau grafis yang di dalamnya terdapat proses yaitu sensasi, persepsi dan memori. Lantas, untuk apa orang kemudian berpikir? Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi menerangkan bahwa, berpikir dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan yang baru (creativity) (Rakhmat, 2008:68).
Proses pemecahan masalah itu sendiri ada 5 tahap (tentu tidak selalu begitu, karena banyak faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah). Namun secara garis besar, Rakhmat (2008:71), menjelaskannya seperti ini :
Tahap pertama. Terjadi peristiwa ketika perilaku yang biasa dilakukan terhambat karena sebab tertentu. Lalu Anda akan mengatasinya dengan pemecahan yang rutin. Semisal, mobil mogok, lalu Anda starter berulang kali. Anak mogok belajar, lalu Anda membujuknya. Bila cara ini gagal, masalah akan timbul.
Selanjutnya, Anda mencoba menggali memori Anda untuk mengetahui cara-cara apa saja yang efektif pada masa lalu. Mobil mogok, lalu Anda dorong. Anak mogok belajar, Anda belikan mainan kesukaan.
Tahap berikutnya, disebut dengan tahap mechanical solution dengan uji coba (trial and error). Di tahap ini Anda mencoba seluruh kemungkinan pemecahan masalah yang pernah Anda ingat atau yang dapat Anda pikirkan.
Lalu, Anda mulai menggunakan lambang-lambang verbal atau grafis untuk mengatasi masalah. Anda mencoba memahami situasi yang terjadi, mencari jawaban dan menemukan kesimpulan yang tepat. Anda mungkin akan menggunakan cara berpikir induksi, deduksi, evalutif atau analogi.
Tahap selanjutnya yang sering disebut dengan Aha Erlebnis (pengalaman Aha), atau lebih lazim dikenal dengan insight solution; yakni dimana tiba-tiba terlintas di pikiran Anda suatu pemecahan. “Aha, sekarang saya tahu, anak saya tersinggung karena ucapan saya. Saya harus minta maaf”.
Aha, penulis jadi ingat beberapa momen “aha” ketika berhadapan dengan sebuah masalah. Bagaimana dengan Anda?
Namun, seperti perilaku manusia yang lain, pemecahan masalah juga dipengaruhi oleh faktor situasional dan personal. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa faktor biologis serta sosiopsikologis mampu berpengaruh terhadap pemecahan masalah. Misalnya, manusia yang kurang tidur dapat mengalami penurunan kemampuan berpikir (Hmmm, yakin nih masih mau begadang sebelum ujian?).
Sama pentingnya dengan faktor biologis, faktor-faktor sosiopsikologis juga turut berperan dalam pemecahan masalah. Salah satunya yaitu motivasi. Motivasi yang rendah akan mengalihkan perhatian, dan sebaliknya, motivasi yang terlalu tinggi akan membatasi fleksibilitas (Rakhmat, 2008: 73). Contohnya, karena terlalu tegang menghadapi ujian, kita tidak sanggup menjawab pertanyaan pada test. Kepercayaan dan sikap yang salah juga turut andil dalam mempengaruhi proses pemecahan masalah. Sikap yang defensif- misalnya karena kurang percaya diri, akan cenderung menolak informasi baru, merasionalisasikan kekeliruan dan mempersukar penyelesaian.
Faktor sosiopsikologis ketiga yaitu kebiasaan. Kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu, atau melihat masalah hanya dari satu sisi saja tanpa kritis pada pendapat otoritas juga akan menghambat pemecahan masalah yang efisien. Dan yang terakhir adalah emosi. Emosi juga berperan dalam memecahkan masalah. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi memang bukan hambatan utama, namun bila emosi sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi sehingga menjadi stress, barulah kita menjadi sulit berpikir efisien (Rakhmat, 2008: 74).
Mengutip pernyataan Coleman, 1974: 447) :
“Takut mungkin melebih-lebihkan kesulitan menghadapi persoalan dan menimbulkan sikap resah yang melumpuhkan tindakan; marah mendorong tindakan impulsif dan kurang dipikirkan; dan kecemasan sangat membatasi kita melihat masalah dengan jelas atau merumuskan kemungkinan pemecahan”.
***
Itu tadi sekilas mengenai bagaimana orang berpikir dalam pemecahan masalah serta faktor pengaruh didalamnya. Semoga bermanfaat ya rekan-rekan pembaca; setidaknya akan menambah khasanah pribadi untuk mencoba mengerti bahwasanya proses berpikir adalah hal yang kompleks. Dan dengan mencoba memahami faktor di sekitar kita, semoga pemecahan masalah dapat diputuskan dengan bijaksana ya. Sebagai penutup, ada sebuah kalimat yang penulis suka, bahwa “Words don’t mean, people mean”, bahwa kata-kata tidak mempunyai makna; oranglah yang memberi makna. Salam Generasi Berencana. Berencana Itu Keren!
Daftar Pustaka | Penulis: Clara