When life gives you tangerines adalah salah satu drama korea yang tengah menjadi perbincangan hangat di sosial media terutama bagi para ibu dan remaja perempuan. Bagaimana tidak, pemeran utama pria dalam drama ini seakan menjadi sosok impian bagi semua istri dan anak perempuan ditengah budaya patriarki yang masih melekat hingga saat ini. Dalam drama korea ini ditampilkan secara epik bagaimana pemeran utama pria tidak hanya dapat menaklukkan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa sentral, perlu dilayani penuh sebelum istri maupun anak perempuan namun juga ditengah keterbatasan ekonomi tidak menghalangi peran pentingnya dalam keluarga, baik sebagai seorang suami bagi istrinya dan seorang ayah bagi anak-anaknya. Peran ayah dalam pengasuhan anak yang ditampilkan dalam drama korea ini telah menjadikan anak perempuannya menjadi seorang perempuan yang mandiri, tangguh, memiliki pendirian yang teguh sehingga tidak mudah terpengaruh, berpendidikan serta tidak mudah dipengaruhi lawan jenis dikarenakan dia sudah melihat contoh baik bagaimana sikap dan perilaku ayahnya selayaknya ideal seorang laki-laki.
Di era modern sekarang ini peran seorang laki-laki dalam keluarga baik sebagai suami pada umumnya dan ayah khususnya masih berbenturan dengan budaya patriarki yang cukup kental di Indonesia. Menurut Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti A (2017) dalam jurnal yang berjudul Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia, sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun. Adapun definisi patriarki itu sendiri disebutkan Alfian Rokhmansyah (2016) dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Dalam hal ini laki-laki memegang kendali dan kuasa sepenuhnya dan perempuan hanya bisa menerima apa yang telah diputuskan oleh laki-laki. Oleh karena itu di kehidupan sehari-hari tidak jarang kita melihat seorang laki-laki yang seharusnya didalam keluarga memiliki fungsi sebagai seorang ayah namun hampir tidak memiliki peran sama sekali dalam pengasuhan anak-anaknya.
Para ayah yang seharusnya memiliki peran penting dalam proses tumbuh kembang anak menjadi kepala keluarga yang hanya fokus pada upaya mencari nafkah saja. Lebih dari itu bahkan diantara para ayah ini tidak hanya mengabaikan peran penting sebagai ayah dalam pengasuhan anaknya namun juga ikut menelantarkan keluarganya secara ekonomi. Peran penting ayah itupun kemudian dibebankan kepada ibu yang juga sudah memiliki beraneka peran sebelumnya. Peran ibu yang tadinya mengurus urusan domestik rumah tangga, mengasuh anak bahkan ikut membantu mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga juga memiliki peran ganda dengan peran ayah .yang dibebankan kepada ibu. Kondisi ini pada akhirnya semakin menggelembungkan fenomena fatherless ditengah masyarakat. Keadaan dimana ayah ada namun tidak hadir berperan dan tidak terlibat aktif dalam pengasuhan anak.
Dampak fatherless yang berdampak buruk tidak hanya pada tumbuh kembang anak namun juga pada sosialisasi dan interaksi anak juga banyak dikemukakan para ahli. Oleh karena sudah waktunya peran ayah dalam pengasuhan anak menjadi perhatian dan kesadaran bersama demi mewujudkan pembangunan manusia yang unggul, produktif dan berdaya saing di masa depan. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang termasuk memiliki keterlibatan aktivitas tinggi dengan ayah ditandai dengan beberapa karakteristik positif seperti memiliki aspek kognisi dan empati yang lebih terasah, lebih sedikit bereaksi terhadap stereotipe, hingga memiliki locus of control yang tinggi secara internal (Pleck, Pruett, Radin, dalam Lamb 2010). Keterlibatan ayah juga menjadi faktor prediktor utama pada anak yang memiliki minim konflik dengan teman-temannya (Lieberman, Doyle, & Markiewicz, 1999).
Dalam menjalankan peran ayah diharapkan dapat memenuhi beberapa dimensi yang sangat berdampak terhadap tumbuh kembang anak. Pertama, dimensi interaksi yang melibatkan interaksi langsung antara ayah dan anak dalam bentuk perilaku seperti beribadah bersama, bermain bersama, berolahraga bersama. Kedua, dimensi aksesbilitas yang merupakan bentuk kehadiran/keberadaan ayah dalam hidup anak baik secara fisik maupun psikologis baik secara langsung ataupun tidak langsung seperti menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan anak secara langsung maupun melalui media komunikasi yang tersedia. Ketiga, dimensi tanggung jawab dalam bentuk dipenuhinya tanggung jawab pengasuhan oleh ayah kepada anak seperti memenuhi hak dasar anak berupa pangan, sandang dan papan serta memberikan dukungan finansial kepada anak. Keempat, dimensi keterlibatan dalam pekerjaan rumah merupakan hal yang penting dalam upaya menjaga keseimbangan keluarga dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak seperti mencuci piring dan pakaian serta menyapu lantai dan halaman.
REFERENSI
Lamb, M.E. (2010). How Do Fathers Influence Children’s Development? Let me Counts The Way. Dalam M. E. Lamb (Eds), The Role of The Father in Child Development. (h.1-26).New Jersey: John Wiley & Sons.
Lieberman, M., Doyle, A., & Markiewicz, D. (1999). Developmental patterns in security of Attachment to Motherand Father in Late Childhood and Early Adolescence with Peer Relations. Child Development 70 (1).202-213.
Rokhmansyah, Alfian. (2016). Pengantar Gender dan Feminisme. Yogyakarta : Garudhawaca
Sakina, & A Siti. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work Journal, Vol. 7, No.1