Author - Mimin Siap Bahagia

5 Tips Bahagia Belajar #dirumahaja

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menghimbau masyarakat Indonesia untuk beraktivitas #dirumahaja. Himbauan ini bukan tanpa alasan, siapa yang tidak tahu bahwa saat ini kita diserang wabah virus corona yang mematikan. Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) mengancam aktivitas normal masyarakat untuk ‘dipaksa’ dilakukan #dirumahaja seperti, bekerja atau work from home (WFH) hingga belajar atau study from home (SFH). Pelajar hingga mahasiswa pun harus belajar secara online.

Selama hampir 2 bulan sejak Presiden RI menghimbau #dirumahaja, sejak kasus 01 COVID-19 Indonesia di awal bulan Maret 2020, sebagian dari pelajar merasa bosan, bahkan rindu sekolah seperti biasanya. Kebosanan itu nyatanya dapat menurunkan semangat belajar. Benar gak, guys? Sehingga produktivitas menjadi rendah, yang biasanya bangun pagi untuk berangkat sekolah/kuliah, malah bangun kesiangan dan happy rebahan aja.

Bagaimana ya, caranya supaya kita belajar di rumah, dapat seefektif seperti di sekolah/kampus. Nah, ini dia tipsnya:

Buat ‘zona nyaman’ versi kamu
Belajar di rumah memang fleksibel. Bahkan, sambil rebahan di kasur dianggap menyenangkan. Tapi, bukannya belajar, ntar kalau sambil rebahan kamu akan mudah hilang konsentrasi, terus malah ketiduran. Untuk itu, pilih dan tentukan ‘zona nyamanmu’.

Atur dan pilih waktu yang tepat untuk kamu belajar. Lalu, eksplor bagian-bagian di rumahmu seperti, ruang belajar, ruang tamu, teras rumah atau balkon rumah. Misal di teras rumah nih, kamu bisa gelar tikar dan pakai meja portable. Udara segar dan pemandangan di luar rumah, bisa membantu pikiranmu fresh. Tapi, jika kamu lebih nyaman di ruang belajar, kamu bisa mendekor ruang belajar sesuka dan senyamanmu. Eits, pastikan juga tempat dengan pencahayaan dan sinyal internet yang cukup ya.

Siapkan makanan ringan
Belajar itu membuat energimu berkurang untuk hal yang bermanfaat. Maka, dengan belajar terkadang membuatmu cepat lapar. Boleh sekali kamu belajar sambil nyemil. Bahkan, supaya kamu ga mengantuk selama belajar, dengan kamu mengunyah makanan, itu akan membantu supaya kamu tetap fokus. Usahakan camilan yang bergizi seperti, buah-buahan, kacang-kacangan, coklat, yogurt, serta ditemani minuman seperti susu dan teh hangat. Mmm nikmatnya.

Jauhkan barang-barang yang membuatmu ‘salah fokus’
Belajar di rumah pasti ga akan luput dari gangguan seperti televisi, mainan, hingga smartphone. Untuk itu, supaya kita tetap fokus belajar, hindarkan dirimu dari barang-barang yang dapat memecahkan fokusmu.

Belajar bareng teman secara online
Sebagian dari kita, terutama kalian yang memiliki kepribadian ekstover, lebih suka belajar secara berkelompok dan saling terbuka. Gak ada salahnya kamu belajar sambil videocall, bahkan bisa memanfaatkan fitur conference call pada aplikasi seperti, Zoom, Google Meet, Cisco Webex, Skype, dan lain-lain. Eh iya, aplikasi Whastapp juga mendukung fitur videocall hingga 8 peserta, loh. Melalui cara tersebut, kamu tetap bisa saling berinteraksi dan bertemu dengan temanmu, walaupun hanya di depan layar kaca.

Atur waktu, belajar juga ga boleh kebanyakan
Ada sebuah perkataan bahwa “hidup itu belajar”, yang mana kata belajar di sini sangatlah luas. Belajar tidak hanya diartikan proses menerima ilmu atas materi pelajaran sekolah/kampus. Belajar bisa apa saja, dimana saja, dan kapan saja. Maka dari itu, kamu perlu banget mengatur waktu belajar materi sekolah/kampusmu.

Beri kesempatan bagi dirimu untuk mengembangkan potensi diri dan melakukan hobi. Agar tidak jenuh belajar online di depan laptop atau smarthphone, bisa nih membantu anggota keluargamu beraktivitas seperti, merawat hewan peliharaan, berkebun, hingga belajar memasak. Bahkan, agar kamu tidak bosan, kamu bisa manfaatkan fitur media sosial seperti Tiktok untuk membuat kreasi video, ngevlog, dan sebagainya. Seru kan?

Itu dia 5 tips agar kamu tetap dan #SiapBahagia belajar walaupun #dirumahaja. Ingat, nggak perlu panik atas pandemic COVID-19 yang menerpa kita. Tetaplah optimis, laksanakan protokol kesehatan, dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Yakinkan diri bahwa kita dapat melewati semua cobaan yang Tuhan berikan. Tetap semangat guys dan selamat beraktivitas bersama keluarga.

 

Kontributor: Shofi Munawwir Effendi

Read more...

Dampak Perilaku Body Shaming pada Kesehatan Mental

Body Shaming adalah tindakan atau praktik mempermalukan seseorang dengan membuat komentar mengejek dan mengkritisi tentang tubuhnya. Dari penelitian yang dilakukan, terdapat Lebih dari 900 kasus Body Shaming di Indonesia selama 2018 . Dampaknya adalah :

Tidak Percaya Diri

Ketika seseorang tidak percaya diri, maka ia akan menjadi seseorang yang ragu – ragu dalam segala hal. Ia akan terlalu memikirkan pandangan serta respon orang lain dalam hidupnya. Akibatnya ia menjadi nampak tidak mampu memutuskan sesuatu karena akan merasa salah terus. Ia menjadi tidak dapat mengembangkan diri secara optimal demi keberhasilan dirinya dimasa depan.

Depresi

Orang yang depresi maka ia akan cenderung mengurung diri dan memisahkan diri dari lingkungan sosialnya. Akibatnya ia kurang dapat membangun support system secara kokoh dan akan merasa tidak puas dengan dirinya. Ia akan merasa dirinya tidak berharga dan akan mengakibatkan perilaku lain yang akan membahayakan dirinya.

Diet Berlebihan

Ketika seseorang fokus terhadap tubuh kita, maka kita akan merasa kurang nyaman. Oleh sebab itu seseorang yang mengalami body shaming terhadap tubuhnya akan melakukan berbagai cara untuk memperbaiki bentuk tubuhnya tersebut. Apabila ia gagal melakukannya maka kecemasan akan muncul dan akan semakin membuatnya depresi. Akibat lain yang akan dialami yaitu melakukan kegiatan diet secara berlebihan yang berpotensi buruk untuk kesehatannya.

Cemas pada Citra Tubuh

Cemasnya seseorang terhadap citra tubuhnya menjadikan ia sulit fokus terhadap hal – hal penting lainnya. Ia akan terlalu memikirkan bentuk tubuhnya dan akan membanding – bandingkan dengan orang lain. Ketika rasa cemas ini terus menerus ia rasakan maka harga dirinya dapat menurun.

Bunuh Diri

Saat seseorang mengalami kecemasan dan depresi yang terus menerus, maka perilaku fatal lain yang akan dapat terjadi yaitu tindakan bunuh diri. Betapa dahsyat pengaruh citra diri pada seseorang yang akan menyebabkan ketidakberhargaan diri serta membuat ia membenci dirinya sendiri.

Gangguan Psikologis lainnya

 

32% korban Body Shaming akan melakukan hal serupa kepada orang lain. Sehingga jika kita tidak segera mengatasi kebiasaan buruk dan mengurangi intensitas kebiasaan ini maka kita akan turun membiarkan pelaku body shaming akan terus menjamur dari masa ke masa dan akan menjadi sebuah kewajaran. Jika persepsi masyarakat sudah membentuk suatu kewajaran, maka penanganan tidak akan menjadi prioritas. Apa penyebab munculnya body Shaming? Yaitu salah satunya adalah adanya persepsi yang salah dari citra tubuh. Pada masa lalu, bahwa tubuh yang berisi merupakan tanda kemakmuran dan kebahagiaan. Rambut mengembang dengan badan yang berisi juga memiliki anggapan yang lebih positif dibanding tubuh yang sangat kurus dengan rambut tipis. Perubahan Penilaian gemuk dan kurus tersebut terjadi terutama dibudaya barat. Penilaian gemuk dan kurus pada th 2000-an saat ini mengalami perubahan apalagi memasuki munculnya era sosial media. Adanya iklan iklan yang mengatakan standart cantik wanita yaitu memiliki kulit yang putih, rambut terurai hitam serta memiliki tubuh yang kurus. Begitu juga dengan laki – laki, yaitu dengan tubuh tegap proporsional, muka mulus dan jago olah raga maupun memiliki komunitas yang dapat dibanggakan. Pengaruh idola yang mempengaruhi persepsi seseorang akan citra yang ideal. Kebiasaan melakukan body shaming rata – rata terjadi saat masa remaja, meskipun tidak menutup kemungkinan juga dijenjang usia lainnya turut melakukan suatu hal yang masih termasuk perundungan atau bullying ini. Kata – kata  seperti, “badan gembrot”, “jelek”, “bodoh”, “jerawatan”, “pendek”, “gosong” dll terasa biasa untuk dimasukkan kedalam percakapan sehari – hari yang dipersepsikan oleh remaja merupakan sebuah kosa kata yang komunikatif dan mencairkan suasana.

Seberapa susah menghilangkan body shaming di masyarakat?

Adanya anggapan dimasyarakat bahwa body shaming kepada orang gemuk akan membuat mereka malu, lalu AKAN TERMOTIVASI utk mereka dpt lebih sehat lagi.
Adanya anggapan “kebebasan berpendapat” di teknologi komunikasi sosial yang semakin memudahkan. Mereka lupa bahwa segala sesuatu ada etikanya.
Secara tidak sadar banyak orang mencari pelampiasan permasalahan diri dan hidupnya à karena belum mampunya self healing dari unfinished bussines dalam dirinya.
Karena gempuran teknologi orang semakin memiliki role model dari dunia media sosial dan tidak memiliki norma etika yang standar.

ternyata perbuatan body shaming atau penghinaan fisik di media sosial maupun ruang publik dapat dilaporkan ke kepolisian dan dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik/penghinaan (delik aduan) serta Pasal 315 KUHP tentang penghinaan ringan.

Dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Sedangkan, berdasarkan Pasal 315 KUHP berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Namun meskipun sanksi yang diberikan sudah ditetapkan, hal tersebut masih belum mempengaruhi seseorang untuk berhenti melakukan body shaming tersebut hingga saat ini.

Sehingga agar terhindar dari kebiasaan menjadi pelaku Body Shaming adalah:

Bangun perilaku dan pertemanan yang lebih nyata dan sehat
Selesaikanlah masalahmu, terima kehidupanmu dengan rasa syukur.
Berhenti mengkritik gaya hidup seseorang yang berbeda denganmu

Sedangkan untuk korban Body Shaming:

Bijak Ber-Media Sosial à jangan terlalu lama tenggelam dalam dunia internet
Belajar Untuk Mencintai Diri Sendiri à Syukuri selalu!
Ekspresikan Apa Yang Kita Rasakan
Keluarlah dari “Tempat Persembunyian”
Temukan Sisi Positif Dari Dirimu

Ketahuilah bahwa dirimu itu unik, berharga dan kamu dicintai. Selalu merasa bersyukur atas apa yang kamu miliki dan apa yang ada dalam dirimu. Jangan insecure…selalulah bersyukur..

Penulis : Meutia Ananda, S.Psi.,M.Psi

Read more...

5 Cara Tetap Bahagia Saat Menghadapi Masalah

Sebagai generasi berencana, pastinya harus sudah siap dengan berbagai tantangan seluk beluk pernikahan dan masalah rumah tangga yang akan dihadapi. Agar lebih kuat pondasinya, yuk simak penjelasan berikut mengenai bagaimana orang berpikir untuk memecahkan masalah. Tenang, nggak berat teorinya, masih berat rindunya Dilan kok.

***

Cogito ergo sum – Aku berpikir maka aku ada. Sebuah ungkapan filsafat yang sudah tidak asing di telinga kita. Kalimat yang di populerkan oleh Descartes tersebut selalu dimuat dalam setiap buku pengatar filsafat yang membahas mazhab rasionalisme. Tenang, penulis tidak akan terlalu mengurai konsep Descartes di tulisan ini. Hal yang akan penulis garis bawahi adalah mengenai “berpikir” dalam konteks psikologi komunikasi. Mari luangkan waktu sejenak menyimak serunya berpikir mengenai bagaimana orang berpikir J

Apakah berpikir itu? Singkat cerita, Anita Taylor et al, mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan. Thinking is a inferring process (Taylor et al. 1977:55). Berpikir melibatkan penggunaan lambang, visual atau grafis yang di dalamnya terdapat proses yaitu sensasi, persepsi dan memori. Lantas, untuk apa orang kemudian berpikir? Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi menerangkan bahwa, berpikir dilakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan yang baru (creativity) (Rakhmat, 2008:68).

Proses pemecahan masalah itu sendiri ada 5 tahap (tentu tidak selalu begitu, karena banyak faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah). Namun secara garis besar, Rakhmat (2008:71), menjelaskannya seperti ini :

Tahap pertama. Terjadi peristiwa ketika perilaku yang biasa dilakukan terhambat karena sebab tertentu. Lalu Anda akan mengatasinya dengan pemecahan yang rutin. Semisal, mobil mogok, lalu Anda starter berulang kali. Anak mogok belajar, lalu Anda membujuknya. Bila cara ini gagal, masalah akan timbul.
Selanjutnya, Anda mencoba menggali memori Anda untuk mengetahui cara-cara apa saja yang efektif pada masa lalu. Mobil mogok, lalu Anda dorong. Anak mogok belajar, Anda belikan mainan kesukaan.
Tahap berikutnya, disebut dengan tahap mechanical solution dengan uji coba (trial and error). Di tahap ini Anda mencoba seluruh kemungkinan pemecahan masalah yang pernah Anda ingat atau yang dapat Anda pikirkan.
Lalu, Anda mulai menggunakan lambang-lambang verbal atau grafis untuk mengatasi masalah. Anda mencoba memahami situasi yang terjadi, mencari jawaban dan menemukan kesimpulan yang tepat. Anda mungkin akan menggunakan cara berpikir induksi, deduksi, evalutif atau analogi.
Tahap selanjutnya yang sering disebut dengan Aha Erlebnis (pengalaman Aha), atau lebih lazim dikenal dengan insight solution; yakni dimana tiba-tiba terlintas di pikiran Anda suatu pemecahan. “Aha, sekarang saya tahu, anak saya tersinggung karena ucapan saya. Saya harus minta maaf”.
Aha, penulis jadi ingat beberapa momen “aha” ketika berhadapan dengan sebuah masalah. Bagaimana dengan Anda?

Namun, seperti perilaku manusia yang lain, pemecahan masalah juga dipengaruhi oleh faktor situasional dan personal. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa faktor biologis serta sosiopsikologis mampu berpengaruh terhadap pemecahan masalah. Misalnya, manusia yang kurang tidur dapat mengalami penurunan kemampuan berpikir (Hmmm, yakin nih masih mau begadang sebelum ujian?).

Sama pentingnya dengan faktor biologis, faktor-faktor sosiopsikologis juga turut berperan dalam pemecahan masalah. Salah satunya yaitu motivasi. Motivasi yang rendah akan mengalihkan perhatian, dan sebaliknya, motivasi yang terlalu tinggi akan membatasi fleksibilitas (Rakhmat, 2008: 73). Contohnya, karena terlalu tegang menghadapi ujian, kita tidak sanggup menjawab pertanyaan pada test. Kepercayaan dan sikap yang salah juga turut andil dalam mempengaruhi proses pemecahan masalah. Sikap yang defensif- misalnya karena kurang percaya diri, akan cenderung menolak informasi baru, merasionalisasikan kekeliruan dan mempersukar penyelesaian.

Faktor sosiopsikologis ketiga yaitu kebiasaan. Kecenderungan untuk mempertahankan pola berpikir tertentu, atau melihat masalah hanya dari satu sisi saja tanpa kritis pada pendapat otoritas juga akan menghambat pemecahan masalah yang efisien. Dan yang terakhir adalah emosi. Emosi juga berperan dalam memecahkan masalah. Dalam menghadapi berbagai situasi, kita tanpa sadar sering terlibat secara emosional. Emosi memang bukan hambatan utama, namun bila emosi sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi sehingga menjadi stress, barulah kita menjadi sulit berpikir efisien (Rakhmat, 2008: 74).

Mengutip pernyataan Coleman, 1974: 447) :

“Takut mungkin melebih-lebihkan kesulitan menghadapi persoalan dan menimbulkan sikap resah yang melumpuhkan tindakan; marah mendorong tindakan impulsif dan kurang dipikirkan; dan kecemasan sangat membatasi kita melihat masalah dengan jelas atau merumuskan kemungkinan pemecahan”.

***

Itu tadi sekilas mengenai bagaimana orang berpikir dalam pemecahan masalah serta faktor pengaruh didalamnya. Semoga bermanfaat ya rekan-rekan pembaca; setidaknya akan menambah khasanah pribadi untuk mencoba mengerti bahwasanya proses berpikir adalah hal yang kompleks. Dan dengan mencoba memahami faktor di sekitar kita, semoga pemecahan masalah dapat diputuskan dengan bijaksana ya. Sebagai penutup, ada sebuah kalimat yang penulis suka, bahwa “Words don’t mean, people mean”, bahwa kata-kata tidak mempunyai makna; oranglah yang memberi makna. Salam Generasi Berencana. Berencana Itu Keren!

 

Daftar Pustaka | Penulis: Clara

Read more...
stunting

Stunting: Penyebab, Gejala, Dampak, Serta Cara Pencegahan

Surabaya – Stunting masih menjadi permasalahan kesehatan serta perhatian global. Terutama di Indonesia, saat ini masih dihadapkan permasalahan stunting tersebut.

Terbaru, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) yang digelar pada Kamis, 28 April 2022, secara terbuka Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sambutannya menyinggung tentang stunting. Orang nomor satu di Indonesia itu meminta angka stunting diturunkan.

Kegiatan yang digelar di Istana Negara, Jakarta secara daring dan luring tersebut diselenggarakan dalam rangka Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2023 dengan tema “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.

“Agenda-agenda strategis untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM) harus terus berjalan. Selain itu, percepatan kemiskinan ekstrem, angka stunting yang kedua harus diturunkan,” ujar Jokowi, yang sebagaimana dikutip dari laman resmi Presiden RI.

Penurunan prevalensi stunting pada balita menjadi agenda utama bagi Pemerintah Indonesia. Serta menjadi pekerjaan bersama bagi berbagai instansi pemerintah mulai dari pusat, daerah, hingga level desa.

Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) juga saat ini tengah berupaya untuk mengkoordinasikan percepatan pencegahan stunting, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, termasuk pemantauan serta evaluasi di berbagai tingkat pemerintahan, termasuk desa.

Dengan keterlibatan semua pihak, Setwapres berharap dapat mempercepat dan mendorong pencegahan stunting, sehingga prevalensi  stunting dapat menurun hingga 14 persen pada 2024 nanti.

Sementara itu, dilansir dari laman Kemenkes, menurut Direktur Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Dr. Dhian Proboyekti Dipo, SKM, MA bahwa permasalahan gizi tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia. Permasalah stunting itu juga menjadi fokus secara global.

Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 memaparkan bahwa prevalensi stunting sebesar 24,4 persen.

Angka tersebut masih jauh target yang ditetapkan dalam kurun waktu 2020-2024 dengan prevalensi yakni sebesar 14 persen.

Selain itu, berdasarkan data dari Asian Development Bank (ADB) prevalensi stunting balita Indonesia tertinggi ke-2 di Asia Tenggara pada tahun 2020. Dengan capaian prevalensinya 31,8 persen.

Oleh karena itu, selain peran ibu atau orang tua dalam memerangi stunting atau gagal tumbuh pada anak-anak tetapi juga membutuhkan kontribusi dari pemerintah dengan semakin menggalakan program pemantauan meminimalisir angka stunting di Indonesia.

apa itu stunting

Apa itu Stunting?

Stunting adalah masalah kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama atau panjang, sehingga mengakibatkan kondisi gagal tumbuh pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak).

Dimaksud dengan kekurangan gizi dalam waktu lama yaitu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran).

Stunting juga kerap menjadi penyebab terhambatnya tumbuh tinggi pada anak. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan kecerdasan dalam berpikir.

Namun, masalah tumbuh kembang tersebut sering disalah artikan sebagai faktor genetika dan tidak ada kaitannya dengan masalah kesehatan.

Perlu diingat, meski tidak semua anak yang pendek dan mengalami keterlambatan perkembangan belum tentu stunting, tapi anak stunting dipastikan terlihat pendek dari seusianya.

Selain itu, stunting juga bukan hanya permasalahan pada gangguan pertumbuhan fisik, namun bisa mengakibatkan anak rentan sakit.

Anak masuk dalam kategori stunting apabila tinggi badan menunjukan di bawah minus 2 standar deviasi (SD).

Jika kondisi tersebut mulai terlihat pada anak dibawah usia 2 tahun harus segera ditangani dengan tepat.

Standar deviasi penilaian status gizi dapat menggunakan grafik pertumbuhan anak (GPA) dari WHO.

Faktor penyebab Stunting

Stunting pada anak tidak bisa dianggap remeh, karena hal tersebut merupakan masalah yang cukup serius untuk masa depan generasi penerus bangsa.

Oleh karena itu,  bagi calon ibu atau orang tua perlu mengetahui beberapa faktor penyebab stunting. Adapun demikian, berikut ini faktor penyebab stunting pada anak:

  1. Mengalami kekurangan gizi sejak masa kehamilan

Rendahnya mengkonsumsi makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, serta buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani pada masa kehamilan, dapat menjadikan kekurangan nutrisi pada ibu hamil yang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin.

Perlu diketahui, nutrisi 1000 hari pertama dalam fase kehidupan sangat berperan penting untuk pencegahan stunting.

Apabila dalam 1000 hari pertama tersebut tidak baik akan berdampak pada keterlambatan pertumbuhan kecerdasan dan pola pikir anak, tinggi badan, hingga anak menjadi mudah sakit.

Selain itu, pemberian ASI eksklusif pada usia bayi 0-6 bulan penting sebagai perlindungan terhadap infeksi gastrointestinal yang kerap berkaitan dengan stunting. Karena infeksi tersebut mampu menyebabkan malnutrisi yang parah.

Malnutrisi merupakan dimana kondisi tubuh tidak dapat menerima asupan gizi dengan baik.

Apabila anak tidak mendapatkan ASI sama sekali sejak dilahirkan, bisa berdampak pada kekurangan gizi maupun sistem kekebalan yang dapat menyebabkan stunting.

  1. Kebutuhan asupan gizi anak tidak tercukupi

Kondisi kebutuhan gizi tidak tercukupi dengan baik, dapat disebabkan karena kurang asupan makanan anak yang mengandung protein serta mineral zinc dan zat besi.

Selain itu, penting juga menerapkan pola hidup dengan pedoman gizi seimbang. Berdasarkan pedoman gizi seimbang terdapat empat pilar yang perlu diperhatikan untuk mencukupi gizi harian yaitu:

  1. Mengonsumsi makanan yang beraneka ragam antara lain makanan pokok/karbohidrat, lauk pauk, sayur dan buah, serta minum air putih.
  2. Membiasakan berperilaku hidup bersih dan sehat.
  3. Senantiasa melakukan aktivitas fisik
  4. Memantau berat badan secara teratur, guna mempertahankan berat badan tetap ideal.

Pedoman gizi seimbang terdapat beberapa susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Dalam peranannya zat gizi berupa karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, serat dan air.

  1. Kurangnya pengetahuan sang Ibu

Pentingnya edukasi tentang kesehatan reproduksi serta pengetahuan mengenai gizi seimbang merupakan bekal masa depan bagi remaja putri nantinya bakal menjadi seorang ibu yang akan membangun sebuah keluarga.

Diharapkan para calon ibu tersebut bisa sadar dan memahami kebutuhan gizi saat hamil sampai melahirkan.

Selain itu, perlu juga sosialisasi tentang persalinan aman dan nyaman di fasilitas kesehatan, serta pentingnya melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) untuk mendapatkan kolostrum air susu ibu (ASI).

Tak hanya itu, pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan, setelah itu perlu ditunjang dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) mulai 6 bulan keatas. Pemberian ASI tetap diberikan hingga usia anak 2 tahun.

Apabila calon ibu minim pengetahuan dasar seputar gizi, stunting, ASI, dan kurang sadar akan permasalahan kesehatan, ditakutkan si anak akan tumbuh kurang maksimal.

  1. Adanya infeksi kronis atau berulang

Infeksi dapat menjadi salah satu penyebab stunting juga harus lebih diperhatikan. Salah satunya, penyakit diare dan pernapasan apabila terjadi secara berulang dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan anak-anak.

  1. Faktor sanitasi yang buruk

Peran sanitasi dalam juga penting dalam tumbuh kembang anak. Apabila lingkungan rumah mempunyai sanitasi yang buruk, si anak rentan akan tumbuh kembangnya terlambat.

Selain itu, akses sanitasi dan air bersih yang mudah dapat mampu menghindarkan risiko anak dari ancaman penyakit infeksi.

  1. Layanan kesehatan yang terbatas

Rendahnya akses pelayanan kesehatan yang terbatas di beberapa daerah juga salah satu penyebab stunting. Pada kenyataannya, masih ada beberapa daerah tertinggal di Indonesia yang kekurangan layanan kesehatan.

Padahal, sejatinya sangat diperlukan pelayanan dan pemantauan terhadap keadaan ibu hamil dan anak-anak secara khusus. Terlebih, jika ada ibu hamil dan anak-anak yang mengalami sakit, sehingga perlu ditangani dengan cepat dan tepat.

Serta perlunya peran tenaga kesehatan sebagai pendamping masyarakat untuk membantu edukasi mengenai gizi untuk ibu hamil dan anak-anak.

pencegahan stunting

Mengenali Gejala stunting sejak dini

Stunting mempunyai gejala secara umum yang tampak dalam tumbuh kembang anak diantaranya:

  1. Mengalami keterlambatan perkembangan keterampilan fisik, seperti berguling, duduk, berdiri, dan berjalan
  2. Dibandingkan dengan anak sepantaran, tinggi badan cenderung lebih pendek
  3. Tinggi anak bertambah kurang dari 5 centimeter setelah usia 2 tahun.
  4. Proporsi tubuh terlihat normal, akan tetapi anak terlihat lebih muda/kecil dari usianya.
  5. Cenderung terlambat dalam perkembangan keterampilan sosial dan mental
  6. Berat badan rendah dibandingkan anak seusianya
  7. Lebih mudah sakit karena penurunan daya imun

Memahami dampak stunting bagi anak

Permasalahan stunting pada anak bisa mempengaruhi dari ia kecil hingga dewasa. Dengan kondisi akibat kekurangan gizi dalam jangka waktu yang cukup lama itu dapat mengakibatkan terhambatnya tumbuh kembang anak hingga rentan terserang penyakit.

Sebagai informasi, balita mengalami stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15 persen) kematian pada anak balita di dunia. Serta menyebabkan sekitar 55 juta Disability-Adjusted Life Years (DALYs) yakni hilangnya masa hidup sehat setiap tahun (Ricardo dalam Bhutta, 2013).

Kendati demikian, perlunya memahami dampak stunting terhadap anak, agar orang tua lebih waspada terkait hal tersebut.

Dalam dampak stunting melingkupi jangka pendek dan jangka panjang. Berikut secara rinci dampak stunting tersebut:

Dampak stunting jangka pendek

  1. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal anak kurang optimal yang berakibat menghambat pertumbuhan saraf anak, laju perkembangan motorik lebih lambat dan anak mengalami kesulitan mengungkapkan bahasa ekspresif.
  2. Sistem metabolisme tubuh tidak baik, sehingga anak rentan mengalami sakit. Bahkan bisa memicu kematian

Dampak stunting jangka panjang

  1. Performa dan kapasitas belajar kurang optimal. Kecerdasaan anak dibawah rata-rata, berakibat prestasi belajar tidak maksimal.
  2. Postur tubuh tidak optimal , lebih pendek dibandingkan pada umumnya.
  3. Risiko lebih tinggi mengalami obesitas, dan menderita penyakit lainya seperti diabetes, jantung, stroke, dan kanker.
  4. Penurunan kesehatan reproduksi

Bagaimana cara mencegah stunting?

Ada beberapa upaya pencegahan stunting berdasarkan ketentuan pemerintah Indonesia/Freepik.com/pch.vector

Seperti yang diketahui, kasus stunting menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menurunkan angka tersebut. Pada dasarnya, kasus stunting itu sendiri dapat dicegah sejak dini.

Ada beberapa program dicanangkan oleh pemerintah untuk mencegah dan menurunkan kasus stunting di Indonesia.

Terdapat upaya pencegahan stunting berlandasan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016, yang tercatat dalam Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, terbagi dalam beberapa aspek yaitu:

Mencegah stunting mulai dari ibu hamil dan bersalin

  1. Intervensi pada 1000 hari pertama kehidupan anak.
  2. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu.
  3. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan yang aman dan nyaman.
  4. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM), yang sebagaimana merujuk pada pedoman gizi seimbang.
  5. Deteksi dini penyakit menular dan tidak menular.
  6. Pemberantasan cacingan.
  7. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA.
  8. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI eksklusif.
  9. Penyuluhan dan pelayanan KB.

Mencegah stunting pada balita

  1. Pemantauan pertumbuhan balita, salah satunya dengan adanya pos Posyandu terpadu yang diselenggarakan di lingkungan sekitar.
  2. Menggiatkan pola pemberian makanan tambahan (PMT) yang memiliki nutrisi cukup untuk balita.
  3. Menggelar simulasi dini untuk perkembangan anak.
  4. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

Mencegah stunting pada anak usia sekolah

  1. Berupaya menggalakkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
  2. Menguatkan kelembagaan tim pembina UKS.
  3. Menggalakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS).
  4. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.

Mencegah stunting pada usia remaja

  1. Menggalakan penyuluhan hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba.
  2. Memberikan edukasi atau pendidikan pentingnya kesehatan reproduksi.

Mencegah stunting pada dewasa muda

  1. Memberikan penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB).
  2. Deteksi dini penyakit, baik itu menular atau tidak menular.
  3. Memberikan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok ataupun mengkonsumsi narkoba.

Dengan demikian, upaya pencegahan tersebut perlu digaris bawahi secara umum agar terhindar dari stunting yakni pentingnya asupan gizi seimbang yang harus terpenuhi dan diberikan kepada anak dan Ibu.

Mencukupi asupan gizi tersebut mulai dari masa kehamilan, bersalin, hingga anak usia balita, serta senantiasa menerapkan pola hidup sehat. ***

Read more...

Menikah Tak Semudah Mengucapkannya

Memiliki pasangan hidup yang sah merupakan harapan setiap orang. Tetapi menikah bukan soal mudah. Menikah bukan sekedar untuk menghalalkan pasangan saja atau sebagai wujud dari kata cinta. Tapi menikah merupakan sebuah proses yang harus disiapkan dengan terencana, agar penikahan hanya terjadi sekali seumur hidup dan dapat menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah.

Setidaknya ada empat hal utama yang harus kamu siapkan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Pertama, kesiapan fisik. Terutama bagi perempuan yang nantinya akan menjadi calon ibu yang akan melahirkan anak, maka dibutuhkan fisik yang baik sebelum menjalani kehamilan dan proses melahirkan. Usia seseorang dinyatakan siap dan ideal dalam menjalankan proses kehamilan dan persalinan adalah di usia 21 hingga 35 tahun.

Kedua, kesiapan psikis. Tentunya gak mau dong kalau nantinya setelah kamu menikah mengalami KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya KDRT adalah tidak siapnya seseorang dalam menghadapi dinamika berkeluarga, hal ini disebabkan karena emosi seseorang yang belum matang.

Ketiga, kesiapan ekonomi. Menjalani kehidupan rumah tangga tentu akan dihadapkan dengan berbagai kebutuhan. Baik kebutuhan sehar-hari, biayan pendidikan anak dan lain-lain. Kesiapan ekonomi menjadi salah satu dasar untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera secara financial.

Keempat, pendidikan. Orang tua adalah guru yang utama dalam menjalankan fungsi sosialisasi dan pendidikan. Orang tua yang berpendidikan maka akan melahirkan generasi yang cerdas.

Semua persiapan diatas diperlukan agar anak kita kelak terhindar dari masalah stunting, dan itu dimulai sejak masa kehamilan sampai usia 2 tahun atau 1.000 hari pertama kehidupan.

Nah gaes, gimana? Empat faktor di atas apa sudah terpenuhi semua? Yuk tunda menikah di usia muda. Menikahlah di usia yang ideal, yaitu minimal 21 tahun bagi perempuan dan minimal 25 tahun bagi laki-laki. Menikahlah karena terencana, karena berencana itu keren.

 

Penulis: Admin

Read more...

Pola asuh pada anak

POLA ASUH PADA ANAK
Hallo Parents… pada artikel kali ini, kita akan membahas tentang bagaimana sih cara pola asuh pada anak yang benar.. untuk lebih lengkapnya yuk kita ketahui kiat-kiatnya.

Seringkali kita terjebak pada gaya pengasuhan yang menurut kita harus sempurna. Adanya tuntutan menjadi orangtua yang baik, memiliki anak-anak yang patuh dan manis juga membuat kita dapat salah memilih pada gaya pengasuhan dan akhirnya cenderung menekan anak untuk menjadi sesuai keinginan kita. Ini dapat membuat anak merasa jika dirinya tidak dekat atau kurang disayang oleh orangtua. Padahal, dari hasil penelitian menunjukkan jika anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua yang penuh kasih sayang menumbuhkan hippocampus (salah satu bagian otak) yang lebih besar. Dimana, di bagian ini terdapat memori, cara belajar dan respons terhadap stres yang lebih baik pada anak (Eanes, Rebeca. 2020). Sebelumnya, lebih baik kita mengenali beberapa gaya pengasuhan (Santrock, John W. 1995) :

a. Pengasuhan yang otoriter (authoritarian parenting)

Ini adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah dari orangtua. Orangtua menetapkan batasan yang tegas dan tidak memberi peluang pada anak untuk diskusi. Seringkali pengasuhan otoriter diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak. Contohnya, “Sudah, ikut perintah Ayah!” atau “Kakak nurut mama, ga usah banyak bicara!”. Pada situasi tersebut, kedepannya anak dapat menjadi rentan cemas akan perbandingan sosial, gagal memprakarsai kegiatan dan memiliki ketrampilan komunikasi yang rendah. Bahkan, dalam suatu studi dikatakan jika disiplin awal yang terlalu kasar diasosiasikan dengan agresi pada anak (Weiss & others, 1992)

b. Pengasuhan yang otoritatif (authoritative parenting)

Ini contoh pengasuhan dimana orangtua mendorong anak untuk mandiri namun tetap menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Pada gaya pengasuhan ini, orangtua terbuka pada diskusi dan memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang pada anak. Orangtua yang otoritatif mungkin akan melingkarkan lengannya pada anak secara lembut sambil berkata, “Kakak seharusnya ga boleh kayak gitu. Ayo, kita ngobrol bagaimana cara sehingga kakak bisa mengatasi situasi tadi kalo terjadi lagi ya”. Anak-anak dengan orangtua otoritatif berkompeten secara sosial, percaya diri dan bertanggung jawab secara sosial.

c. Pengasuhan yang permissive-indiferent

Pada gaya pengasuhan ini, orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. Misalnya, membiarkan anak pulang malam dan tidak tahu posisi anak dimana atau apa yang dilakukan. Umumnya, anak dengan pola asuh ini punya keinginan yang kuat agar orangtua perduli atau perhatian pada mereka. Anak dengan pola asuh tersebut, merasa jika aspek-aspek lain kehidupan orangtua lebih penting dibanding mereka. Anak dengan pola asuh ini cenderung inkompeten secara sosial, yaitu memperlihatkan kendali diri yang buruk dan tidak membangun kemandirian dengan baik.

d. Pengasuhan yang permissive-indulgent.

Gaya pengasuhan ini adalah orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak tapi menetapkan sedikit batas atau kendali pada mereka. Pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurangnya kendali diri. Orangtua membiarkan anak melakukan apa yang diinginkan sehingga mereka tidak pernah belajar mengendalikan perilaku mereka dan selalu mengharapkan kemauannya dituruti. Anak dengan orangtua yang permissive-indulgent jarang belajar menaruh hormat pada orang lain dan kesulitan mengendalikan perilaku mereka.

Namun, yang harus dipahami, penting untuk menyesuaikan gaya pengasuhan dengan perubahan perkembangan pada anak. Contohnya, orangtua tidak boleh memperlakukan anak yang usia 5 tahun, sama seperti anak usia 2 tahun. Di tahun pertama, orangtua biasanya terfokus pada pengasuhan rutin, mengganti popok, memandikan, menidurkan, dan lain-lain. Di tahun kedua, orangtua mulai memasukkan unsur disiplin dalam pengasuhan terutama untuk menjaga keamanan anak. Sehingga biasanya menggunakan gaya pengasuhan otoriter dengan tetap disertai dengan alasan mengapa melarang. Contohnya, menjauhkan anak dari benda berbahaya, mennyuruh anak bermain di tempat yang aman, memberi hukuman jika anak tidak menurut perintah tersebut karena membahayakan diri mereka.

Tetapi, seiring bertambahnya usia anak, orangtua juga mulai menyesuaikan pengasuhan dengan mengajak diskusi, terbuka pada pendapat anak, memberi nasehat, dan lain-lain (Santrock, John W. 1995). Terutama jika anak memasuki masa remaja. Gaya pengasuhan otoriter justru lebih banyak memberikan dampak negatif bagi remaja. Sehingga, sebaiknya orangtua menggunakan gaya pengasuhan yang lebih bersifat otoritatif. Dorong remaja untuk berani berpendapat dan juga terbuka dalam mendengarkan pendapat mereka.

Hal tersebut juga dapat mengasah kemampuan remaja untuk berkomunikasi secara asertif. Yang penting dalam mengasuh anak adalah :

Bangun kedekatan hubungan dengan anak. Misalnya, jadilah orangtua yang dicari anak ketika dia sakit, sedih, marah dan senang jika melihat anda kembali. Keterikatan penting, tidak perduli berapapun usia anak. Mengapa? Sebab, menurut hierarki kebutuhan Abraham Maslow, anak dapat mencapai aktualisasi diri jika semua kebutuhannya terpenuhi. Misalnya, makanan, minuman, tempat tinggal, keamanan, keselamatan, hubungan dengan teman-teman, kebutuhan emosional dan lain-lain. Orangtua sebaiknya menjadi ‘landasan’ sehingga anak merasa aman untuk berkembang.
Bersikap empati. Terdengar mudah, namun sebenarnya sulit. Empati adalah keluar dari ‘sepatu’ ayah-ibu dan menempatkan diri dalam sepatu kecil anak sehingga paham akan sudut pandang mereka, sadar apa yang dirasakan, paham apa yang dibutuhkan (Eanes, Rebeca. 2020).
Belajar untuk meminta maaf jika merasa salah. Hilangkan gengsi sebagai orangtua karena orangtua pun dapat melakukan kesalahan. Dengan meminta maaf, kita juga mengajarkan pada anak untuk melakukan hal yang sama jika mereka salah. Terlihat sederhana, namun di masa ini penting untuk mengajarkan anak hal tersebut.
Dorong anak untuk belajar menyelesaikan masalah mereka, sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Contohnya, saat adik dan kakak bertengkar, orangtua sebaiknya menghindari untuk langsung melerai, selama hal tersebut tidak membahayakan bagi anak. Beri mereka kesempatan untuk belajar cara menyelesaikan masalah mereka, dengan cara mereka sendiri. Di usia 4-6 tahun, anak sudah dapat diajak diskusi cara menyelesaikan masalah, misalnya “Menurutmu kenapa hal tadi bisa terjadi?”, “Perasaan kakak sekarang bagaimana?”, “Menurutmu, apa yang bisa kamu lakukan jika ini terjadi lagi?”, dan lain-lain.
Ajari anak untuk bertanggung jawab jika melakukan kesalahan. Misalnya, ketika anak bermain bedak dan berantakan, jangan memarahi anak karena ini adalah salah satu cara mereka mengeksplorasi dunianya. Sebaiknya, dorong anak untuk membersihkan bedak tersebut. Jika belum memungkinkan, ajak anak untuk ikut membantu ketika orangtua membersihkan bedak. Dengan cara tersebut, anak belajar jika tidak apa-apa melakukan kesalahan namun berani untuk bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan konsisten adalah orangtua dan orang yang mengasuh anak melakukan pengasuhan dan menaati aturan yang telah ditetapkan secara konsisten. Ini untuk menghindari anak merasa bingung sehingga ditakutkan jika anak akan memilih mana yang menurutnya paling menyenangkan bagi dirinya. Contoh sederhana, orangtua tidak memperbolehkan anak untuk mendapat screentime lebih dari 1 jam. Namun, saat tidak ada orangtua dan hanya ada nenek atau pengasuh lain, mereka melakukan hal sebaliknya. Pola asuh yang tidak konsisten tersebut bisa berdampak anak menjadi kurang mampu untuk patuh pada aturan dan cenderung membangkang karena memilih aturan yang lebih menguntungkan bagi dirinya.
Semoga membantu!

Read more...

Akankah Masa Pandemi Covid Membuat Pelayanan KB Terjepit

AWAL tahun 2020 seluruh dunia terguncang oleh virus yang pertama kali kasus nya ditemukan di kota Wuhan-China pada akhir Desember 2019. Virus itu bernama Corona/Covid-19/Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang menyerang sistem pernapasan mulai dari bayi, anak-anak, orang dewasa sampai lansia, tanpa memandang status sosial apapun yang melekat pada kehidupan manusia. Gejalanya batuk kering, demam/panas (>38º C) serta sesak napas hanya dalam beberapa hari setelah terinfeksi.

Penyebarannya sangat cepat secara droplet (Percikan Air Liur) serta dampaknya yang mematikan membuat virus ini menjadi Fenomena Pandemic dan menghantui hampir seluruh belahan bumi. Di Indonesia ada 23.165 orang yang positif terinfeksi corona, 1.418 orang meninggal serta 5.877 orang sembuh (Data Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional, per-26 Mei 2020)

Bukan aspek kesehatan saja yang diserang oleh kehadiran virus ini tetapi aspek kehidupan lain ikut terkena dampaknya seperti sosial, ekonomi, politik, hankam bahkan kepependudukan. Kepanikan, kecemasan serta saling mencurigai menjadi pertunjukan yang lumrah kita saksikan akibat kehadiran virus tersebut.

Seluruh pemerintahan dibelahan bumi ini terpaksa menerapkan kebijakan tertentu dalam rangka memutus rantai penyebaran virus corona , mulai dari pembatasan interaksi social/social distancing berskala sampai Lockdown (penutupan total).

Kebijakan ini mewajibkan masyarakat agar beraktifitas didalam rumah kecuali untuk kepentingan mendesak. Dominasi aktifitas yang diwajibkan untuk dikerjakan didalam rumah ini relatif memberikan peluang bagi para PUS (Pasangan usia Subur) melakukan frekuensi hubungan suami-istri lebih sering dari hari-hari normal sebelumnya karena hampir selalu lebih sering bertemu. Kebijakan tersebut akhirnya berimbas pula pada pelayanan kebutuhan ber-KB masyarakat. Disini masyarakat bingung “Bagaimana mereka bisa mendapatkan pelayanan KB saat pandemic ini?”

Bagi PUS yang terlindungi/memakai kontrasepsi mungkin tidak menjadi masalah karena kekuatiran akan terjadinya Kehamilan Yang Tidak Diinginkan (KTD) dapat terhindari.

Namun lain hal nya dengan PUS yang tidak terlindungi/tidak memakai kontrasepsi justru cemas akan KTD ditengah desakan ekonomi pada masa pandemik corona.

Sebenenarnya pemerintah dalam hal ini BKKBN telah mengantisipasinya dengan menjalin koordinasi sinergis antara Kepala Daerah provinsi/Kabupaten/Kota melalui OPD-KB serta Dinkes terhadap kebutuhan ber-KB masyarakat. Informasi pelayanan KB baik secara kebijakan dan pelaksanaan-nya sudah banyak disiarkan melalui media elektronik/cetak bahkan medsos. Namun informasi tersebut seakan tertutupi dengan keberadaan informasi dampak covid-19.

Pemerintah daerah provinsi Jawa Timur dalam hal ini bekerjasama dengan Perwakilan BKKBN Prov. Jatim serta OPD-KB juga dinkes Kab/Kota, telah memperhitungkan secara seksama agar 7.937.774 PUS diwilayah Jawa Timur yang mayoritas usia 20 – 35 tahun (Statistik Rutin Rek.F/I/DAL BKKBN per–Maret 2020) akan tetap terlayani kebutuhan ber-KB nya selama masa pandemic ini melalui ketersediaan stock kontrasepsi cukup untuk kebutuhan masyarakat Jatim.

Pemerintah Provinsi Jatim tidak mau gegabah dalam memandang penting arti 7.937.774 PUS ini. Bila PUS tersebut tidak terlindungi/tidak memakai kontrasepsi dan HAMIL secara bersamaan maka AKAN ada 7.937.774 bayi akibat Kehamilan Yang Tidak Diinginkan (KTD). Fenomena Kelahiran secara bersamaan ini kita kenal dengan FENOMENA BABY-BOOM. Hal ini akan menambah pekerja rumah (PR) provinsi Jawa Timur yang bukan perkara mudah untuk 20 tahun ke depan dimana pemerintah wajib menyediakan fasilitas penunjang kehidupan bagi kelahiran baru ini.

Kekuatiran fenomena tersebut didukung data bahwa tingkat putus pakai (Drop-Out/DO) yang menyentuh angka 414.708 akseptor (7,07 %) dari 6.140.996 akseptor KB Peserta Aktif-Baru seluruh metoda di Jatim per-akhir April 2020. (Statistik Rutin Rek.F/I/DAL BKKBN). Keadaan ini diperburuk dengan adanya angka Un-Meetneed yang cukup tinggi.

Memang diakui bahwa masa pandemic ini membuat beberapa kebijakan pelayanan KB menjadi terimprovisasi akibat harus disinergikan dengan kebijakan protap penanganan covid-19 serta keadaan social ekonomi masyarakat. Namun hal ini jangan membuat masyarakat kuatir karena masa pandemic ini seluruh fasilitas kesehatan (Faskes) KB di Jatim yang berjumlah 15.116 Faskes KB (1.249 Faskes Pemerintah, 631 Faskes Swasta, 1.358 Praktek Dokter, 8.340 Bidan serta 3.352 Faskes jejaring) akan SELALU SIAP melayani masyarakat (Data Laporan Rek F/II/KB/13 BKKBN).

Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat agar dapat terlayani KB-nya ?

Untuk mendapatkan pelayanan KB di faskes, maka masyarakat dapat mengambil langkah sebagai berikut :

Masyarakat dapat mendatangi PLKB dikantor kecamatan diwilayahnya atau kader KB setempat untuk mendapatkan informasi tentang pelayanan KB. Dari berkoordinasi ini masyarakat akan dibantu ke faskes KB yang direkomendasikan ditemani PLKB/kader KB-nya.
Masyarakat dapat langsung menghubungi tenaga kesehatan (Nakes) pelayanan KB (dokter/bidan) di faskes terdekat via telepon/HP untuk mendapatkan informasi pelayanan KB. Setelah berkoordinasi dan membuat janji dengan nakes barulah masyarakat bisa mendapatkan pelayanan KB.
Masyarakat harus WAJIB memakai MASKER ketika mau berkonsultasi, berkoordinasi serta mendapatkan pelayanan KB. Sedangkan bagi nakes yang melaksanakan pelayanan KB WAJIB menggunakan Protap Pencegahan Penularan COVID sesuai anjuran Kementerian Kesehatan
Masyarakat akan di-GRATIS-kan pembiayaan pelayanan KB bila di lakukan di faskes pemerintah karena ada kebijakan PEMBEBASAN RETRIBUSI pelayanan KB dari pemerintah setempat.
Pada akhirnya pemerintah hanya meminta kesadaran masyarakat untuk ber-KB serta TIDAK PERLU TAKUT bila ingin ber-KB agar terhondar dari KTD dimasa pandemic Corona ini. Jadi MASA PANDEMIK COVID TIDAK AKAN MEMBUAT PELAYANAN KB TERJEPIT.

SALAM BAHAGIA.

Read more...

Mengatasi Stres di Masa Pandemi

Masa Pandemi saat ini rentan menyebabkan seseorang merasa stres. Ketidakpastian akan masa depan, tekanan ekonomi yang semakin berat dan banyak perubahan yang terjadi seringkali menjadi beberapa faktor penyebab dari stres.

Pada tahun 1936, Hans Selye, seorang dokter, memperkenalkan sindrom adaptasi menyeluruh (General Adaptation Syndrome- GAS), suatu gambaran respons biologis untuk bertahan dan mengatasi stres fisik. Terdapat 3 fase dalam model ini:

Fase pertama. Reaksi alarm. Sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat maka terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin semakin membesar dan thimus menjadi melemah.
Fase kedua. Resistensi yaitu organisme beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki.
Jika stresor menetap atau organisme tidak mampu merespons secara efektif, terjadi fase ketiga yaitu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat (Selye, 1950).
Pada intinya, stres dianggap sebagai respons terhadap berbagai kondisi lingkungan dan dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisiologis. Ada juga yang menyatakan jika stres adalah stimulus (penyebab), bukan respons (akibat). Dimana stimuli tersebut berupa pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan bagi seseorang. Jadi, seseorang dapat merasa stres saat disebabkan oleh hal-hal tertentu namun juga bisa karena stres maka menimbulkan dampak secara fisik pada dirinya (Davison, C. Gerald., Neale, M. John., Kring, Ann.M., Februari 2010).

Cara mengatasi stres (coping) terbagi menjadi 2, dapat secara emosional dan yang berfokus pada masalah (Davison, C. Gerald., Neale, M. John., Kring, Ann.M., (Februari 2010).

Hindari terlebih dahulu membaca berita negatif mengenai pandemi. Cari berita yang positif atau membaca dan melihat mengenai hal-hal yang menyenangkan bagi diri sendiri.
Lakukan relaksasi secara rutin jika dirasa efek pandemi mulai terasa berat baik secara fisik maupun emosional. Cara melakukan relaksasi :
Pejamkan mata
Fokus pada pernafasan. Tarik nafas dan hembuskan perlahan, lakukan hingga merasa tenang
Bayangkan jika diri berada di tempat yang menyenangkan. Usahakan untuk membayangkan tempat tersebut sejelas mungkin dan dapat diiringi dengan lagu atau musik yang menenangkan.
Lakukan selama 15-30 menit hingga badan terasa rileks dan segar.
Tetap fokus pada pernafasan dan mulai hitung mundur secara perlahan.
Buka mata pelan-pelan
Silakan dicoba
Bicara pada orang lain juga dapat membantu seseorang untuk merasa lebih tenang karena merasa jika ada teman untuk berbagi perasaan dan pikiran. Tuangkan apa yang membuat stres hingga perasaan menjadi lega.
Jangan lupa untuk tetap berpikiran positif dan yakin jika Pandemi akan berakhir. Situasi serta kondisi mungkin tidak dapat kembali seperti semula namun kita dapat berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Cari informasi secukupnya mengenai penyakit Covid-19 dan situasi pandemi dari sumber yang jelas dan terpercaya. Misalnya, penyebab penyakit, cara penularan, cara pencegahan dan lain-lain.
Hindari mencari informasi dari grup whatsapp atau “Katanya orang”.
Pahami jika kita perlu melakukan PHBS sebagai tindakan pencegahan dan untuk melindungi diri sendiri serta keluarga. PHBS ini juga harus kita biasakan terapkan pada keluarga. Sesuatu menjadi kebiasaan jika secara rutin dilakukan selama kurang lebih beberapa bulan.
Jadikan kebiasaan untuk mencuci tangan dengan benar setiap 1-2 jam sekali, sebelum memegang wajah, sebelum masuk rumah, setelah memegang uang dan lain-lain.
Jangan lupa memakai masker dan baju yang tertutup saat keluar rumah untuk melindungi diri.
Selalu membawa handsanitizer saat keluar rumah dan jika memungkinkan memakai sarung tangan plastik.
Jika sulit untuk mendapat sarung tangan plastik, maka hindari memegang barang yang ada di tempat umum dan selalu mencuci tangan sebelum masuk rumah.
Hindari keluar rumah untuk hal yang tidak perlu.
Saat sampai rumah, selalu ganti baju dan mandi.
Saat diluar rumah, usahakan untuk selalu menjaga jarak dengan orang lain.
Pahami dan terapkan mengenai etiket batuk dan bersin. Yaitu, menutup mulut dan hidung menggunakan tissu atau lipatan siku tangan bila batuk atau bersin dan membuang tissu tersebut ke tempat sampah. Gunakan masker standar dan bersih bila batuk serta harus keluar rumah, agar droplet tidak menyebar.
(Sumber)

 

Kontributor: Ayu Larasati., M.Psi., Psikolog

Read more...