“Anak saya sudah umur 3 tahun tapi kok baru bisa bilang ‘emak’ sama ‘enak’ ya? Kata-kata lain enggak bisa, kalo ngomong pakai gerakan tangan saja. Ada apa dengan anak saya, ya?”

“Cucu saya sudah umur 2 tahun tapi belum bisa bicara, padahal sehat dan bisa mendengar. Terus harus gimana, ya?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas sudah beberapa kali muncul di website siapbahagia.com. Dan kemungkinan, kasus di atas mengarah pada speech delay. Apa sih speech delay itu? Secara umum, yang dimaksud dengan speech delay adalah Keterlambatan Bicara. Speech Delay merupakan kegagalan atau ketidakberhasilan untuk mencapai kemampuan berbicara yang sesuai dengan usia kronologisnya (Delia, D., Suwandi, E., 2021). Gampangnya, kemampuan bicara anak tidak sesuai dengan usia yang dimilikinya.

Ada beberapa tanda warning yang harus diwaspadai dan perlu tindakan sigap dari orangtua, yaitu jika (Delia, D., Suwandi, E., 2021) :

  1. Anak tidak babbling atau mengoceh hingga usia 15 bulan, atau
  2. Anak tidak paham instruksi sederhana di usia 18 bulan, atau
  3. Anak tidak bicara di usia 2 tahun, serta
  4. Belum mampu membuat kalimat di usia 3 tahun.

Jika menemukan kondisi anak seperti di atas, maka segera periksakan ke ahli, misalnya Psikolog atau Dokter Anak untuk mengetahui tumbuh kembangnya. Jangan ditunda, karena semakin cepat diketahui tanda speech delay, semakin cepat diketahui penyebabnya, maka treatment yang perlu diberikan juga dapat segera diterima anak. Tujuannya agar tumbuh kembang anak dapat dioptimalkan.

Speech Delay sendiri bukanlah diagnosa akhir, karena merupakan tanda dari diagnosa lain yang belum kita ketahui. Maka, penting untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin untuk mengetahui penyebab anak mengalami speech delay. Ada beberapa penyebab dari speech delay (Delia, D., Suwandi, E., 2021):

  1. Gender
    Terdapat beberapa hasil studi yang menunjukkan jika anak laki-laki beresiko lebih besar mengalami keterlambatan bicara dibandingkan anak perempuan. Bahkan kemungkinan tersebut adalah tiga hingga empat kali lebih besar dibanding anak perempuan. Kendati demikian, memang penyebab pastinya masih belum dapat diketahui.
  2. Masalah Pendengaran
    Organ pendengaran berpengaruh besar terhadap kemampuan bicara anak. Mengapa? Karena jika tidak ada stimulus suara yang diterima anak, tentu anak akan kesulitan untuk memberi respon berupa bicara. Masalah pendengaran yang mungkin menjadi penyebab speech delay adalah infeksi telinga. Semakin cepat diketahui masalah di organ pendengaran, maka semakin cepat diberi treatmen yang sesuai, maka semakin besar kemungkinan anak untuk bicara dengan baik.
  3. Kerusakan Oral
    Kerusakan oral tersebut maksudnya adalah kerusakan di bagian organ bicara. Misalnya, permasalahan pada lidah dan langit-langit dalam mulut, serta kondisi frenulum yang pendek (tongue tie) yang dianggap membuat gerak lidah menjadi terbatas sehingga berpengaruh pada perkembangan bicara anak.
  4. Kondisi ‘spesial’ pada anak
    Kondisi spesial yang dimaksud adalah anak dengan kebutuhan khusus (ABK), misalnya kondisi retardasi mental atau disabilitas intelektual. Pada kondisi tersebut, anak biasanya memang membutuhkan waktu untuk menerima dan memahami segala informasi maupun kemampuan baru, salah satunya kemampuan bicara. Contoh lain adalah autisme. Gangguan ini adalah gangguan perkembangan yang berkaitan dengan permasalahan pada syaraf. Yang terlihat pada anak dengan autisme biasanya, bicara tanpa adanya penekanan (datar), terkesan kaku dan juga menampilkan echolalia (mengulangi perkataan orang lain). Kondisi berikutnya yang dapat berpengaruh adalah cerebral palsy.
  5. Multilingual
    Saat ini, banyak orangtua yangmelatih anaknya bicara dalam bahasa selain bahasa Indonesia. Sebenarnya ini tidak akan menjadi masalah jika anak sudah menguasai bahasa ibunya (bahasa sehari-hari) secara ajeg. Jika anak masih belum terampil dan fasih memahami bahasa ibu lalu ditambah dengan melatih bahasa lain, tentu anak akan mengalami kesulitan. Anak mungkin dapat merespon dan memahami maksud perkataan orang lain, dengan bahasa yang berbeda. Tetapi, mereka dapat menemui kesulitan saat harus memberikan respon secara verbal. Sehingga hal ini terkadang membuat anak akhirnya malah tidak bicara. Namun, jika anak memang tidak mengalami kesulitan dalam bahasa utama atau bahasa sehari-hari, maka mereka juga tidak akan menemui kesulitan dalam penggunaan dua bahasa sekaligus.
  6. Kurang memberikan kesempatan bicara pada anak
    Salah satu kasus yang pernah saya temui, anak tersebut berusia 2 tahun, laki-laki satu-satunya dan merupakan anak terakhir dengan rentang usia yang cukup jauh terhadap kakak-kakaknya. Pada kondisi tersebut, ibunya mengeluhkan jika anak belum bisa mengucapkan kalimat secara utuh. Jika meminta sesuatu maka yang dilakukan adalah memanggil nama orang lain dan menunjuk. Respon orang di sekitarnya yaitu segera mengambilkan tanpa mendorong anak untuk bicara dahulu. Setelah digali lebih dalam, ibu pernah meminta anak untuk bicara dahulu sebelum mengambilkan barang yang diinginkan dan ternyata anak malah menangis kencang hingga terlihat sesak nafas. Ibu dan orang di sekitar akhirnya tidak berani mengulang karena takut anak akan menangis dan sesak nafas.
  7. Gadget atau gawai
    Tidak bisa dipungkiri, situasi dan perkembangan teknologi saat ini memang membuat anak lekat dengan gadget. Namun, bukan berarti orangtua harus melepaskan anak dan membiarkan gadget menjadi pengasuh. Paparan gadget yang terlalu dini bisa membuat kemampuan bicara dan bahasa anak terhambat. Ini karena gadget sendiri adalah alat yang bersifat satu arah. Di dalamnya terdapat beragam situmulus suara, cahaya dan gerak yang sangat menghibur anak. Jangankan anak, kita sebagai orang dewasa juga seringkali terkesima kan jika sudah menggunakan gadget. Karena anak sudah merasa terhibur dengan situasi tersebut, maka biasanya mereka akan merasa tidak perlu harus bersusah payah belajar bicara dengan orang lain dan melakukan interaksi untuk mendapatkan kenyamanan yang sama. Anak akan terbiasa menjadi pendengar pasif karena tidak terbiasa menerima umpan balik dari lingkungan dan sekedar menjadi penerima stimulus.

 

Penulis: Ayu Larasati, M.Psi., Psikolog

 

DAFTAR PUSTAKA